Mahasiswa Raja Ampat di Pontianak Sedih Melihat Konflik di Manyaifun, Usulkan Dialog Adat sebagai Jalan Damai

Ket: Salomo Omkarsba salah satu mahasiswa asal Raja Ampat yang sedang menempuh pendidikan di Kota Pontianak, Kalimantan Barat/Foto: Narasumber
Ket: Salomo Omkarsba salah satu mahasiswa asal Raja Ampat yang sedang menempuh pendidikan di Kota Pontianak, Kalimantan Barat/Foto: Narasumber
banner 120x600

Kalau bisa, mari buka ‘senat’, duduk bersama dan bicara secara adat. Itu cara orang Betew Kafdarun menyelesaikan masalah. Dengan duduk bicara secara adat, pasti bisa ditemukan jalan keluar demi kebaikan bersama,” tegas Salomo.

Pontianak, RajaAmpatNews – Mahasiswa asal Raja Ampat yang sedang menempuh pendidikan di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, menyampaikan rasa sedih dan keprihatinan mendalam atas konflik horizontal yang terjadi di Kampung Manyaifun, Distrik Waigeo Barat Kepulauan, Kabupaten Raja Ampat.

Konflik tersebut melibatkan masyarakat pendukung sektor pariwisata dan kelompok yang mendukung kegiatan pertambangan, menyusul pencabutan izin usaha tambang di Pulau Manyaifun dan Batang Pele oleh Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, pada 10 Juni 2025.

Dalam pernyataan pers yang diterima Raja Ampat News, Rabu (25/6/2025), Salomo Omkarsba, mewakili rekan-rekannya sesama mahasiswa Raja Ampat di Pontianak, menyampaikan keprihatinannya terhadap situasi yang terjadi di kampung halaman.

“Kitorang yang sedang kuliah di negeri orang ini hanya bisa melihat dari jauh lewat media sosial. Jujur, kitorang sedih karena di sana semua keluarga. Kenapa sampai bisa terjadi seperti ini?” ungkap Salomo dengan nada prihatin.

Mahasiswa semester VI ini menilai, akar persoalan dari konflik tersebut adalah kebutuhan ekonomi yang mendesak serta rendahnya tingkat pendapatan masyarakat, yang menyebabkan perbedaan pandangan antara pelaku wisata dan kelompok yang ingin memperoleh penghasilan dari tambang.

“Memang cara mencari uang berbeda-beda, tapi jangan sampai berujung bentrok fisik. Itu hanya akan merugikan kedua belah pihak. Kalau bisa, mari buka ‘senat’, duduk bersama dan bicara secara adat. Itu cara orang Betew Kafdarun menyelesaikan masalah. Dengan duduk bicara secara adat, pasti bisa ditemukan jalan keluar demi kebaikan bersama,” tegas Salomo.

Meski memahami tekanan ekonomi yang dihadapi masyarakat, Salomo mengingatkan bahwa pendapatan dari pariwisata memang membutuhkan kerja keras dan waktu yang tidak singkat, namun memberikan keberlanjutan dan menjaga alam untuk generasi masa depan. Sebaliknya, tambang memang menawarkan hasil instan, tetapi berisiko merusak lingkungan secara permanen.

“Manyaifun itu pulau kecil. Kalau alam rusak karena tambang, masa depan anak cucu tidak akan terjamin. Saya harap bapa tua, bapa ade, mama ade, napirem, dan ponakan dorang di Manyaifun jaga baik-baik pulau itu. Jangan dengar orang luar karena itu bukan dorang punya pulau,” ujarnya.

Menutup pernyataannya, Salomo mengingatkan bahwa perusahaan tambang bukan milik masyarakat setempat, melainkan milik pemilik modal dari luar daerah.

“Tambang itu milik orang Jakarta. Kamorang cuma kerja, dapat gaji. Setelah tambang selesai, pulau habis, alam rusak. Dorang dapat untung dan tinggal enak di Jakarta, tapi kamorang yang menderita selamanya,” pungkas Salomo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page