Padahal, banjir ini bukan baru. Bukan mendadak. Bukan tak terduga. Justru, banjir adalah salah satu isu paling laris selama kampanye politik.
Sorong, RajaAmpatNews — Hujan deras yang mengguyur Kota Sorong pada Minggu, 22 Juni 2025, kembali membuka luka lama yang tak juga sembuh. Tapi hari itu, bukan sekadar laporan warga atau kabar dari media sosial — kami, tim Raja Ampat News, menyaksikannya sendiri.
Kami sedang berada di Sorong, dan berangkat dari Rufei menggunakan mobil menuju arah Kilo 12 Masuk. Hujan turun tak terlalu deras, tapi cukup konstan. Sepanjang perjalanan, kami mendapati genangan air di mana-mana. Mulai dari depan RRI Sorong, air mulai tampak menggenangi sisi kiri jalan.
Memasuki kawasan Jalan Pendidikan Kilo 9, air semakin dalam dan meluas. Di depan PLTD, kendaraan mulai melambat karena roda-roda sudah menembus genangan.
Yang membuat kami terdiam adalah saat memasuki kawasan Kilo 10. Genangan air tak lagi sekadar mengisi badan jalan, tapi menutup akses jalan utama yang menghubungkan ke kilo 10 masuk.

Beberapa pengendara motor berhenti, ragu-ragu menerobos. Seorang ibu terlihat menuntun anaknya melewati genangan setinggi betis.
Kami akhrinya memutuskan untuk mundur dan harus melewati Kilo 12 Masuk untuk balik ke kilo 10 masuk saat tiba di kompleks 10 masuk kondisi justru semakin parah. Air menutup badan jalan. Dan tak satu pun kendaraan yang lewat.
Bahkan air sudah masuk ke pekarangan, sebagian warga terlihat mengangkat barang-barang ke tempat yang lebih tinggi. Wajah mereka lelah, tapi tidak terkejut — seolah ini sudah menjadi bagian dari hidup yang mereka “terima paksa”.
Dari balik kaca mobil yang mulai berkabut, kami tak hanya melihat air. Kami melihat kegagalan.
Kami melihat janji-janji politik yang dulu diucapkan dengan lantang kini tenggelam di jalanan yang tergenang.
Kami menyaksikan langsung bagaimana Kota Sorong — beranda barat Papua, wajah pertama dari Provinsi Papua Barat Daya — tampak compang-camping di bawah guyuran hujan.
Padahal, banjir ini bukan baru. Bukan mendadak. Bukan tak terduga. Justru, banjir adalah salah satu isu paling laris selama kampanye politik.
Dari calon wali kota, calon gubernur, hingga para caleg DPR Kota Sorong dan DPR Papua Barat Daya dapil Kota Sorong — semua menjadikan isu banjir sebagai “magnet suara”. Mereka menyebut banjir sebagai bukti lemahnya pemerintahan sebelumnya, dan mereka berjanji akan menyelesaikannya segera bila terpilih.

Kini semua sudah duduk di kursi empuk kekuasaan. Dan rakyat yang memilih mereka — tetap duduk di kursi plastik yang digenangi air.
Seorang sopir Maxim yang kami ajak bicara menyindir, “Waktu hujan begini, siapa wakil rakyat yang turun? Mana wali kota? Mana gubernur? Dulu mereka semangat bicara. Sekarang, rakyat saja yang sibuk angkat barang dari air.”
Perjalanan singkat dari Rufei ke Kilo 12 hari itu menjadi perjalanan panjang bagi nurani kami sebagai jurnalis. Karena kami tidak hanya melihat banjir. Kami melihat pengkhianatan. Kami melihat rakyat yang tetap setia bertahan, sementara pemimpinnya sibuk dengan jadwal-jadwal protokoler.
Kota Sorong bukan sekadar kota. Ia adalah simbol Papua Barat Daya. Jika simbol ini rusak, reputasi provinsi ini ikut tercoreng. Banjir tak hanya menyapu jalan — ia menyapu kepercayaan rakyat.
Kini rakyat tak ingin lagi janji. Mereka butuh kerja. Butuh pemimpin dan wakil rakyat yang hadir bukan hanya saat kampanye, tapi juga saat air menutup jalan dan harapan mulai tenggelam.