LBH Kaki Abu Kecam Keputusan MRP PBD Soal Kuota OAP, Langkah Hukum Siap Ditempuh

KET: Pengurus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Karya Kita Anak Budak, yang dikenal sebagai LBH Kaki Abu di Kantor MRP Papua Barat Daya suarakan kepentingan anak-anak OAP/Dony Kumuai/R4news
KET: Pengurus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Karya Kita Anak Budak, yang dikenal sebagai LBH Kaki Abu di Kantor MRP Papua Barat Daya suarakan kepentingan anak-anak OAP/Dony Kumuai/R4news
banner 120x600

SORONG, RAJAAMPATNEWS– Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Karya Kita Anak Budak, yang dikenal sebagai LBH Kaki Abu, menyatakan sikap tegas terkait keputusan Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat Daya yang dianggap tidak melindungi hak-hak Orang Asli Papua (OAP).

Direktur LBH Kaki Abu, Leonardo Ijie, S.H., menilai keputusan MRP PBD untuk memasukkan individu yang disebut “Nene Tete Papua” dalam kuota OAP sebagai tindakan tanpa dasar hukum yang jelas dan melanggar hak OAP. Hal ini disampaikan pada Jumat, (10/1/2025).

“Kami sangat kecewa dengan sikap MRP PBD. Kebijakan yang dikeluarkan tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Jika kita bicara tentang hak OAP, aturan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus (OTSUS) dan regulasi Kemenpan RB Nomor 320 sudah sangat jelas mengatur mekanisme dan syarat administrasi untuk memastikan bahwa kuota 80% benar-benar diberikan kepada OAP. Namun, keputusan MRP justru bertolak belakang dengan itu,” tegas Leonardo.

Menurut Leonardo, keputusan MRP untuk memasukkan “Nene Tete Papua” dalam kuota OAP tidak didukung oleh data otentik seperti KTP, kartu keluarga, atau dokumen lain yang membuktikan status individu tersebut sebagai OAP.

“Jika kita bicara soal keabsahan, verifikasi sudah selesai. Ada 10 nama yang menjadi temuan, dan dokumen berita acara sudah ditandatangani oleh anggota MRP, termasuk DPR yang memfasilitasi proses ini. Namun, MRP justru meralat keputusan yang sudah disepakati. Ini langkah sepihak dan kami tidak akan tinggal diam,” lanjutnya.

Langkah Hukum Akan Ditempuh

LBH Kaki Abu memastikan akan membawa persoalan ini ke ranah hukum. Leonardo mengungkapkan bahwa pihaknya telah menyiapkan dokumen berita acara sebagai bukti untuk mengajukan gugatan hukum terhadap MRP, DPR, dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD).

“Kami akan mengajukan pengaduan ke Polda Papua Barat Daya paling lambat hari Selasa. Keputusan yang diambil MRP ini ilegal, dan kami anggap pertemuan yang dilakukan oleh BKD juga tidak sesuai prosedur. Ini harus diluruskan agar hak-hak OAP terlindungi,” katanya.

Tanggapan MRP Papua Barat Daya

Wakil Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat Daya, Vincentius Paulinus Baru, S.T., menegaskan bahwa seluruh proses seleksi dilakukan secara terbuka dan melibatkan berbagai pihak, termasuk lembaga adat dan masyarakat lokal.

“Kami sudah memfasilitasi 86 nama yang diajukan dalam aspirasi MRP dan DPR. Dari jumlah tersebut, hanya 3 nama yang terbukti bukan OAP dan rekomendasinya ditolak. Selebihnya, mereka yang memenuhi kriteria, termasuk anak dari saudara perempuan dan pihak-pihak lain yang sesuai aturan, tetap diakomodasi,” ujar Vincentius.

Menurutnya, proses ini melibatkan perwakilan dari berbagai elemen, seperti lembaga adat, tokoh agama, serta masyarakat dari Kabupaten Raja Ampat dan daerah lainnya. “Dari 86 nama itu, hanya 3 yang tidak masuk kuota OAP, dan keputusan ini sudah final. Kami berharap semua pihak menghormati proses yang telah berjalan ini,” tambahnya.

Ketua Komisi I DPR Papua Barat Daya, Zeth Kadakolo, S.E., M.M., juga menyatakan dukungannya terhadap hasil seleksi ini. Ia menjelaskan bahwa verifikasi dilakukan bersama dengan BKPSDM untuk memastikan setiap nama memenuhi kriteria sebagai OAP.

“Setelah diverifikasi, ada 3 nama yang tidak masuk kategori OAP karena tidak memenuhi syarat administratif maupun genealogis. Namun, kami tetap mempertimbangkan hak-hak mereka yang memiliki keturunan Papua, seperti dari garis nenek atau kakeknya,” jelas Zeth.

Ia menambahkan bahwa lembaga adat juga telah memberikan klarifikasi terkait nama-nama yang dianggap kontroversial.

“Kami sudah memanggil ketua-ketua lembaga adat untuk memverifikasi data, khususnya dari Raja Ampat. Proses ini dilakukan untuk memastikan keadilan bagi semua pihak,” lanjutnya.

Optimisasi Formasi dan Kritik Kinerja MRP

Pemerintah Papua Barat Daya memastikan bahwa optimalisasi akan dilakukan jika ada formasi yang tidak memenuhi kriteria OAP. “Regulasi seleksi berlaku seragam di seluruh wilayah Papua untuk memastikan keadilan,” kata Timotius.

Selain itu, Leonardo juga mengkritik kinerja MRP yang dinilai tidak konsisten dalam memperjuangkan hak OAP. Ia menyoroti kasus sebelumnya, di mana MRP menggagalkan pencalonan Alfaris Umlati sebagai gubernur Papua Barat Daya dengan alasan administrasi, meskipun Alvaris memiliki garis keturunan Papua dari neneknya.

“Keputusan yang diambil MRP ini menunjukkan bahwa mereka tidak mampu melindungi hak OAP. Pola pikir seperti ini hanya akan merugikan generasi muda Papua. Lalu, ke mana anak-anak asli Papua ini harus pergi jika lembaga seperti MRP tidak berpihak kepada mereka?” tutup Leonardo dengan nada tegas.

LBH Kaki Abu berkomitmen untuk terus memperjuangkan hak-hak OAP melalui jalur hukum. Leonardo menegaskan bahwa kebijakan yang diambil oleh MRP, DPR, dan BKD harus memiliki dasar hukum yang jelas dan tidak boleh merugikan kepentingan Orang Asli Papua. Konflik ini menjadi pengingat pentingnya transparansi dan keadilan dalam proses pengambilan keputusan terkait hak-hak masyarakat adat Papua.

Writer: Dony KumuaiEditor: Petrus Rabu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page