Sorong, RajaAmpatNews — Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat Daya (DPR PBD) menegaskan komitmennya untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap perkembangan sektor industri pariwisata, perikanan, dan pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Raja Ampat dalam satu dekade atau sepuluh tahun terakhir.
Langkah ini muncul sebagai hasil kunjungan kerja gabungan komisi DPR Papua Barat Daya ke wilayah Raja Ampat pada 13–17 Juni 2025.
Kunjungan yang dipimpin langsung oleh Wakil Ketua DPR Papua Barat Daya, Anneke L. Makatuuk, bersama Ketua Komisi II, Jamaliah Tafalas, SE, MM, mengungkapkan sejumlah temuan di lapangan yang menunjukkan adanya kesenjangan antara potensi kekayaan sumber daya alam Raja Ampat dan tingkat kesejahteraan masyarakatnya, khususnya mereka yang tinggal di wilayah pulau-pulau dan pesisir.
“Kami menemukan adanya ketidakpuasan dari masyarakat, terutama di pulau-pulau seperti Gag, Manyaifun, Kawei, dan Selpele di pesisir barat hingga utara Waigeo, terhadap hasil pembangunan yang ada. Masyarakat lebih memilih bekerja sebagai penambang ketimbang terlibat dalam usaha pariwisata atau perikanan,” ungkap Jamaliah Tafalas dalam konferensi pers usai kunjungan, Kamis (19/6/2025).
Padahal, menurut Tafalas, sejak Deklarasi Tomolol 2003 dan Waiwo 2007, masyarakat Raja Ampat telah menyepakati arah pembangunan berbasis laut dengan penetapan kawasan konservasi seluas lebih dari satu juta hektar. Namun hingga 2025, manfaat dari konservasi ini belum dirasakan secara merata oleh masyarakat di pulau-pulau.
“Kalau masyarakat pulau masih jauh dari sejahtera dan lebih memilih pekerjaan tambang, maka ada yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ini harus dievaluasi,” tegas Tafalas.
Komisi II DPR Papua Barat Daya pun berencana menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Bupati Raja Ampat dan instansi teknis terkait guna melakukan evaluasi pembangunan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. RDP juga akan melibatkan lembaga vertikal seperti Balai Konservasi, Lembaga Penyuluh Perikanan dan Kelautan, Loka Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau, Karantina Ikan, Bea Cukai, serta Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Tafalas menjelaskan, pelibatan BMKG penting karena krisis iklim dan perubahan cuaca global berdampak besar terhadap masyarakat pesisir dan pulau-pulau. Ia menegaskan, sebagai warga pulau, dirinya merasakan langsung dampak dari perubahan iklim tersebut.
“Pembangunan kita selama ini terlalu berorientasi pada daratan. Padahal, 85 persen wilayah Kabupaten Raja Ampat adalah lautan. Maka paradigma pembangunan harus diubah—dari pulau ke pesisir, baru ke darat dan kota,” jelasnya.
Lebih lanjut, Komisi II DPR Papua Barat Daya juga mendorong lahirnya Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Raperdasus) tentang Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Provinsi Papua Barat Daya. Langkah ini dimaksudkan untuk menciptakan sinergi antar daerah dan memaksimalkan potensi wisata yang ada di seluruh wilayah provinsi.
“Kabupaten Tambrauw punya pantai yang indah di Sausapor yang cocok untuk wisata air seperti di Bali atau NTT. Kabupaten Maybrat punya Danau Ayamaru yang eksotis. Di Sorong Selatan ada air terjun dan sungai yang menawan, dan Kabupaten Sorong sendiri juga telah menggenjot sektor pariwisata di bawah kepemimpinan Bupati Jhonny Kamuru dalam lima tahun terakhir,” terang Tafalas.
Ia menutup pernyataannya dengan menyerukan pentingnya peran pemerintah provinsi dalam membangun pariwisata berkelas internasional yang tetap mengedepankan budaya dan adat istiadat sebagai landasan investasi yang berkelanjutan.
“Masyarakat pulau yang sejahtera akan membawa Kabupaten Raja Ampat menjadi makmur, dan pada akhirnya menjadikan Papua Barat Daya sebagai provinsi terdepan di Tanah Papua. Ini adalah perjuangan kita bersama.”