Menjaga Napas Budaya di Tanah Mee: Akselerasi Kearifan Lokal Paniai di Tepi Danau

banner 120x600

“Budaya Paniai tidak hanya soal tarian atau upacara. Ini adalah cara kami melihat dunia, merawat tanah, dan mengenal diri,” ujar Akulius Onebagodagi Kayama, Kepala Suku Distrik Yagai.

Papua Tengah , RajaAmpatNews— Di jantung pegunungan Papua Tengah, di tepi Danau Paniai yang megah, masyarakat adat terus menyalakan obor kebudayaan mereka. Suku Mee, Moni, dan Wolani, yang telah mendiami wilayah ini selama berabad-abad, memperlihatkan semangat luar biasa dalam menjaga warisan budaya lewat cerita, tarian, upacara adat, dan kekayaan alam yang tak ternilai.

Pada Rabu, 4 Juni 2025, sebuah kegiatan bertajuk akselerasi budaya digelar di Yamewa Yagai, belakang Puskesmas lama Enarotali, Distrik Paniai Timur. Kegiatan ini menjadi ruang refleksi dan perayaan atas kekayaan budaya yang masih hidup di tengah gempuran modernitas.

“Budaya Paniai tidak hanya soal tarian atau upacara. Ini adalah cara kami melihat dunia, merawat tanah, dan mengenal diri,” ujar Akulius Onebagodagi Kayama, Kepala Suku Distrik Yagai.

Ia menekankan pentingnya menjaga kesuburan alam sebagai bagian dari budaya hidup masyarakat. Danau Paniai, selain menjadi danau terbesar di Papua, juga menjadi rumah bagi kekayaan hayati seperti “udang selingkuh” — spesies langka yang hanya ditemukan di perairan ini.

Cerita rakyat tentang asal-usul dan perjalanan leluhur suku Mee di sekitar wilayah Wisselmeren masih menjadi warisan lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi.

“Cerita-cerita itu bukan dongeng semata. Ia mengandung nilai, arah hidup, dan petuah tentang hubungan manusia dengan alam,” kata Amos Tatogo, tokoh adat dari Distrik Wegee Bino.

Di tengah acara, tampil juga representasi dua upacara besar: Yuwo, upacara adat suku Mee, dan Emaida, perayaan khas suku Moni. Kedua ritual ini menggambarkan kedalaman spiritual masyarakat serta ketertautan mereka dengan ritme alam.

“Dalam setiap upacara, selalu ada tarian, nyanyian, dan musik tradisional. Kami tidak sekadar merayakan, tapi menyatu dengan roh leluhur,” ungkap Gidion Kayame, senior pemangku budaya Paniai.

Salah satu tradisi yang masih lestari adalah bakar batu — metode memasak bersama dengan menggunakan batu panas yang disusun rapi. Selain menjadi sarana makan bersama, tradisi ini juga memperkuat solidaritas sosial antarwarga kampung.

Jeri Degei, intelektual muda Paniai, turut menyoroti pentingnya kolaborasi lintas budaya di Papua Tengah. Ia menyinggung seni ukir khas Suku Asmat yang menjadi saudara budaya di wilayah sekitar.

“Seni adalah bahasa universal. Dari ukiran Asmat hingga musik Wolani, semuanya menyampaikan nilai dan rasa hormat kepada alam,” ujarnya.

Dalam konteks pariwisata dan pengembangan ekonomi lokal, Danau Paniai memiliki potensi besar. Selain menjadi sumber protein dari perikanan air tawar, wilayah sekitarnya juga subur untuk pertanian—khususnya ubi jalar, kopi, dan aneka sayuran.

Andarias Kayame, penggiat budaya dari Distrik Teluk Daya, menyebut Festival Danau Paniai sebagai momentum penting untuk memperkenalkan budaya kepada dunia luar.

“Festival ini bukan hanya perayaan, tapi strategi memperkenalkan Paniai kepada dunia, lengkap dengan kearifan lokal dan hasil bumi,” katanya.

Di akhir acara, Iyowudi Kudiai, Koordinator Besar Upacara Adat dari Distrik Aradide dan Fajar Timur, menyerukan pentingnya pelestarian alam sebagai bagian dari budaya.

“Kalau hutan hilang, danau rusak, kita kehilangan bukan hanya sumber pangan tapi juga jati diri kita sebagai orang Mee,” tegasnya.

Kegiatan ini bukan hanya panggung budaya, tetapi juga ruang konsolidasi generasi tua dan muda untuk menjaga napas tradisi di tengah arus perubahan zaman. Di tanah Paniai, budaya bukan kenangan masa lalu — ia adalah napas hari ini dan harapan masa depan.

Writer: Jeri P. DegeiEditor: PETRUS RABU

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page