Ketika Guru-Guru di Raja Ampat Mengadu ke DPRK Tentang Hak-Hak Mereka yang Belum Dibayarkan
Waisai, RajaAmpatNews- Suasana Ruang Rapat Komisi II DPRK Raja Ampat terasa berbeda dari biasanya pada Kamis,10/4/2-25). Deretan kursi yang biasa diisi oleh para anggota dewan kini dipenuhi puluhan guru yang datang dari berbagai penjuru Raja Ampat. Mereka tidak datang membawa laporan hasil mengajar atau proposal pendidikan, melainkan membawa satu hal yang sejak lama tertahan—hak-hak mereka sebagai pendidik yang belum kunjung dibayarkan.
Audiensi itu dipimpin langsung oleh Ketua DPRK Raja Ampat, Moh. Taufik Sarasa, ST, dan dihadiri pula oleh Wakil Ketua I Yehuda Manggarai, Wakil Ketua II Bermon Sauyai, serta perwakilan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Di tengah ruang rapat itu, perwakilan guru, Baenal, S.Pd., tampil menyampaikan langsung empat poin penting yang menjadi tuntutan mereka. Di antaranya adalah pembayaran Tunjangan Profesi Guru (TPG) Triwulan IV Tahun 2024 untuk 138 guru, Tambahan Penghasilan Pegawai Negeri Sipil (TPP) selama tiga bulan untuk 1.600 guru, TPP untuk 400 guru PPPK selama empat bulan, dan pembayaran rapel PPPK tahap pertama yang hingga kini masih tertunda sejak pengangkatan.
Selain itu, ada pula 112 guru honorer TK dan PAUD yang belum menerima insentif selama lima bulan terakhir. Tuntutan ini tidak datang secara tiba-tiba. Sebagian besar dari mereka telah cukup lama bersabar. Namun lambannya respons terhadap permasalahan ini membuat para guru merasa perlu turun tangan sendiri menyampaikan keresahan mereka kepada lembaga legislatif.
Menanggapi hal itu, Ketua DPRK menyatakan bahwa anggaran untuk membayar hak-hak guru sebenarnya telah dianggarkan sejak awal tahun. Ia kemudian meminta penjelasan langsung dari pihak Dinas Pendidikan.
Plt. Kepala Dinas, Asri Haji Salim, menjelaskan bahwa keterlambatan itu terjadi karena adanya kekurangan anggaran yang diakibatkan oleh lonjakan jumlah guru PPPK yang tidak terantisipasi sebelumnya. Namun, penjelasan itu tidak sepenuhnya memuaskan semua pihak. Wakil Ketua II DPRK, Bermon Sauyai, justru menilai persoalan ini mencerminkan lemahnya pengawasan internal di Dinas Pendidikan. Ia bahkan menegaskan bahwa apabila ditemukan adanya oknum yang bermain-main dengan urusan ini, maka harus diproses secara hukum.
Kesepakatan pun dicapai. DPRK bersama Dinas Pendidikan dan para guru sepakat untuk mengadakan pertemuan lanjutan pada Senin, 14 April 2025, dengan menghadirkan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) guna memperoleh penjelasan lebih komprehensif mengenai situasi keuangan daerah. Semua pihak berharap pertemuan tersebut dapat menjadi titik terang penyelesaian.
Di luar forum resmi, kisah para guru ini sejatinya menyimpan pelajaran penting tentang dedikasi. Mengabdi di wilayah kepulauan seperti Raja Ampat, dengan lebih dari 600 pulau tersebar dan terbatasnya akses transportasi, membuat profesi guru menjadi pekerjaan luar biasa. Banyak dari mereka harus menyeberangi laut, melewati cuaca yang tak menentu, dan hidup dalam keterbatasan fasilitas. Namun, mereka tetap mengajar dengan penuh semangat. Mereka bukan hanya pendidik, tapi juga pembina karakter, penyambung budaya lokal, dan penyemai harapan untuk masa depan yang lebih baik. Mereka mengajarkan anak-anak tentang pentingnya ilmu pengetahuan, sambil mengenalkan kearifan lokal serta tanggung jawab menjaga lingkungan.

Namun di balik semua pengabdian itu, hak-hak dasar mereka masih harus diperjuangkan. Keterlambatan pembayaran hak bukan hanya sekadar soal teknis anggaran. Ia adalah potret bagaimana profesi guru masih kerap dipandang sebelah mata. Padahal, tanpa mereka, takkan ada generasi masa depan Raja Ampat yang cerdas dan siap menghadapi tantangan global. Pemerintah daerah, sebagai pihak yang memiliki kewenangan penuh, seharusnya menjadikan kesejahteraan guru sebagai prioritas utama. Sebab, di tangan merekalah masa depan daerah ini digantungkan.
Melalui perjuangan ini, para guru di Raja Ampat telah menunjukkan bahwa suara mereka tak hanya layak didengar, tetapi juga harus ditindaklanjuti.
Dan semoga, dari ruang rapat yang sederhana itu, lahir solusi konkret yang bukan hanya memenuhi hak-hak mereka, tetapi juga memulihkan kepercayaan—bahwa pengabdian tak seharusnya dibayar dengan ketidakpastian.