Yenbekaki, Harmoni Alam dan Budaya dari Ujung Timur Waigeo-Raja Ampat

Kampung Yenbekaki-Waigeo Timur Raja Ampat, Papua Barat Daya
Kampung Yenbekaki-Waigeo Timur Raja Ampat, Papua Barat Daya
banner 120x600

“Masa depan yang dibangun bukan hanya dari dana dan proyek, tapi dari identitas, daya tahan, dan kebanggaan sebagai anak negeri Raja Ampat,” ujar Zeth Simson Awom

Yenbekaki, Raja Ampat News – Di sudut timur Pulau Waigeo, tepatnya di Kampung Yenbekaki, Distrik Waigeo Timur, masyarakat hidup berdampingan dengan laut dan hutan dalam satu harmoni yang jarang ditemui di tempat lain. Tak hanya mengandalkan alam sebagai sumber penghidupan, mereka juga menjadikannya sebagai ruang belajar, tempat berkarya, dan jalan menuju pembangunan yang berakar dari budaya mereka sendiri.

Yenbekaki memang bukan kampung besar, tetapi semangat warganya dalam menjaga alam dan adat membuatnya istimewa. Di kampung ini, pemuda dan orang tua bersama-sama membangun kelompok-kelompok usaha berbasis potensi lokal: pelestarian pantai peneluran penyu, pengamatan burung Cenderawasih, pemeliharaan taman anggrek dan air terjun, hingga rekreasi laut seperti snorkeling, diving, dan selancar. Semua dilakukan secara swadaya, dengan kesadaran bahwa masa depan hanya bisa diraih jika hari ini dijaga dengan sungguh-sungguh.

Salah satu motor penggerak gerakan ini adalah Zeth Simson Awom, pemuda kampung yang juga menjabat sebagai Ketua Sanggar Seni Budaya Anak Raja Ampat Kreatif (SARAK). Lewat sanggar ini, Zeth dan rekan-rekannya membuktikan bahwa seni bukan hanya soal pertunjukan, tapi juga jalan kembali ke akar budaya.

ket: Zeth Simson Awom/Foto: Petrus Rabu

“Di sanggar, kami belajar lagi bahasa ibu kami, menyanyikan lagu rakyat, menari tarian leluhur, dan mengenang cerita-cerita tua. Ini bukan nostalgia, tapi fondasi untuk membangun masa depan,” ujar Zeth dalam keterangannya kepada Raja Ampat News, Selasa (1/7/2025).

Sanggar tak hanya menjadi ruang ekspresi, tetapi juga rumah baru bagi nilai-nilai adat. Alat-alat musik lokal diproduksi sendiri, pahatan dan lukisan bertema budaya menghiasi dinding sanggar, dan generasi muda mulai mengenal jati dirinya lewat gerakan tari dan syair rakyat.

Namun, jalan tak selalu mulus. Pandemi Covid-19 yang melanda dunia juga menyentuh Yenbekaki. Aktivitas wisata terhenti, penghasilan warga menurun drastis. Tetapi justru dalam kesulitan itulah, masyarakat menemukan kekuatan mereka. Mereka kembali pada filosofi lokal: “Tiga Tungku”, yaitu sinergi antara agama, pemerintah kampung, dan adat.

Gereja menguatkan iman warga lewat kunjungan pastoral dan doa bersama. Pemerintah kampung menyalurkan bantuan sosial, membuka ruang bagi warga untuk tetap berkebun dan melaut. Sementara lembaga adat menetapkan sistem ‘sasi’, menutup sementara zona-zona pengambilan hasil laut dan hutan, demi menjaga keseimbangan alam.

Dengan cara itu, mereka bukan hanya bertahan, tapi juga belajar. Warga semakin memahami bahwa ketahanan komunitas bukan semata soal logistik, tapi juga soal solidaritas dan sistem nilai yang hidup di antara mereka.

Apa yang dilakukan warga Yenbekaki selaras dengan arah pembangunan Kabupaten Raja Ampat yang saat ini menjadikan sektor perikanan dan pariwisata sebagai lokomotif pembangunan. Gerakan berbasis budaya dan lingkungan seperti di Yenbekaki menjadi contoh bahwa pembangunan tak harus menunggu datangnya investor besar. Ketika masyarakat diberi ruang, dan budaya diberi tempat, maka pembangunan bisa tumbuh dari kampung-kampung kecil di pesisir seperti ini.

Zeth Simson Awom berharap, upaya yang mereka lakukan bisa menjadi perhatian pemerintah daerah dan pihak terkait. “Kami ingin menjadi bagian dari perubahan Raja Ampat, dengan cara kami sendiri—melalui budaya, laut, dan tanah yang kami rawat,” tegasnya.

Kini, setiap pergelaran seni di sanggar bukan hanya menjadi hiburan, tapi juga ruang diskusi, penyampaian aspirasi, bahkan solusi atas persoalan sosial. Lewat irama, gerak dan warna-warni cerita rakyat, masyarakat Yenbekaki bicara tentang dunia mereka—tentang harapan, tantangan, dan masa depan.

Dan tepat di tengah semangat ini, Yenbekaki pun dipercaya menjadi tuan rumah kunjungan belajar dalam rangkaian penyusunan Annual Work Plan (AWP) 2025 oleh AMAHUTA Papua—sebuah gerakan yang mengusung semangat “Amankan Manusia, Hutan, dan Tanah Papua”. Kegiatan ini akan berlangsung pada 13 hingga 15 Januari 2025, dan dilanjutkan dengan kunjungan belajar ke Kampung Yenbekaki pada 16 Januari.

Sanggar SARAK akan menjadi penyelenggara kegiatan kunjungan belajar ini, sebagai bentuk kepercayaan terhadap pengelolaan wilayah adat oleh masyarakat sendiri. Para peserta akan belajar langsung tentang bagaimana masyarakat adat mengelola potensi ekonomi di wilayah mereka. Mulai dari konservasi taman anggrek, penangkaran penyu, hingga program berbasis lingkungan yang mendukung pariwisata berkelanjutan.

Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman nyata kepada peserta tentang pengelolaan potensi ekonomi wilayah adat oleh masyarakat adat, sekaligus menegaskan bahwa komunitas kecil seperti Yenbekaki punya peran besar dalam menjaga masa depan tanah Papua.

“Masa depan yang dibangun bukan hanya dari dana dan proyek, tapi dari identitas, daya tahan, dan kebanggaan sebagai anak negeri Raja Ampat,” ujar Zeth Simson Awom.

Writer: PETRUS RABU

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page