“Jalan menuju perubahan memang tidak mudah, apalagi jika dimulai dari belantara yang sunyi. Tapi setiap langkah kecil yang diambil dengan niat tulus untuk rakyat, akan mengukir jejak besar dalam sejarah.”— Yohanes Sitokdana
Pegunungan Bintang, RajaAmpatNews –Dari lembah sunyi dan punggung rimba Pegunungan Bintang, berdirilah seorang putra daerah yang kini duduk di pucuk lembaga legislatif. Dialah Yohanes Sitokdana, Wakil Ketua I DPRD Kabupaten Pegunungan Bintang—sosok yang mengangkat asa dari tanah keras menuju ruang pengambilan keputusan publik.
Kisah Yohanes bukan sekadar cerita sukses; ia adalah perjalanan penuh peluh, tekad, dan cinta pada tanah kelahiran. Dalam wawancara bersama ‘RajaAmpatNews’ ia membuka memori masa kecilnya yang jauh dari kenyamanan. Sebuah masa di mana jalan menuju kampung harus ditempuh dengan berjalan kaki satu hari satu malam dari pusat kabupaten—melintasi sungai, bukit, dan hutan belantara.
“Saya masih kecil waktu itu. Bapak membawa saya dan adik dalam noken besar. Kami berjalan menembus belantara. Hidup di gunung ini tidak mudah,” kenang Yohanes, matanya menerawang ke masa lalu yang membentuknya.
Tumbuh dalam segala keterbatasan membuat Yohanes dan keluarganya harus mengambil keputusan besar: keluar dari Pegunungan Bintang untuk mengakses pendidikan. Di tanah rantau itulah ia mengasah ilmu, menempa karakter, dan menyusun mimpi.
Namun, alih-alih menetap di kota besar, Yohanes memilih pulang. Ia kembali ke kampung halaman dengan tekad bulat: mengubah nasib tanah kelahirannya melalui jalur kebijakan.
“Kami yang dulu keluar untuk sekolah, ditempa oleh kerasnya hidup. Tapi kami kembali dengan semangat membawa peradaban ke daerah ini,” ucapnya tegas.
Sebagai Wakil Ketua I DPRD, Yohanes kini berfokus pada sejumlah agenda penting yang berpijak langsung pada kebutuhan masyarakat. Ia ingin memastikan bahwa anggaran daerah benar-benar menyentuh kebutuhan dasar masyarakat, seperti perbaikan layanan kesehatan, pendidikan berkualitas, serta pembangunan infrastruktur yang menghubungkan kampung-kampung terpencil.
Selain itu, ia tengah mendorong lahirnya regulasi yang lebih berpihak pada petani lokal dan pelaku usaha kecil.
“Kami tidak boleh hanya bicara politik. Kita harus hadir dalam bentuk nyata—jembatan yang menghubungkan kampung, tenaga medis yang tetap tinggal di puskesmas, dan guru yang tidak pindah-pindah,” ungkap Yohanes.
Ia juga tengah menggagas kemitraan dengan lembaga pendidikan dan lembaga sosial untuk mendorong peningkatan kapasitas generasi muda di Pegunungan Bintang. Menurutnya, perubahan harus dimulai dari investasi pada sumber daya manusia, agar anak-anak gunung bisa berdiri sejajar dengan anak-anak dari wilayah lain.
Kondisi Papua, khususnya wilayah Pegunungan Bintang, memang masih menyisakan pekerjaan rumah besar. Letak geografis yang ekstrem, minimnya infrastruktur dasar, serta tantangan keamanan di sejumlah wilayah membuat pelayanan publik tidak selalu merata. Namun Yohanes percaya, justru dari ketertinggalan itulah lahir kekuatan besar untuk berubah, asalkan ada pemimpin yang mau berjalan bersama rakyat.
“Papua bukan wilayah yang tertinggal karena lemah, tapi karena terlalu lama diabaikan. Kini saatnya kita sendiri yang bangkit dan menyusun ulang masa depan,” tegasnya.
Ia menutup perbincangan dengan keyakinan bahwa parlemen adalah alat, bukan tujuan. Yang utama adalah bagaimana alat itu digunakan untuk menjawab kebutuhan rakyat.
Kita ini hanya wakil. Yang utama adalah rakyat. Tugas kita adalah mendengar, menyuarakan, dan memperjuangkan,” pungkas Yohanes Sitokdana.
“Jalan menuju perubahan memang tidak mudah, apalagi jika dimulai dari belantara yang sunyi. Tapi setiap langkah kecil yang diambil dengan niat tulus untuk rakyat, akan mengukir jejak besar dalam sejarah.”
— Yohanes Sitokdana
Dari noken masa kecil hingga pakaian dinas wakil rakyat, Yohanes Sitokdana membuktikan bahwa latar belakang bukan penghalang untuk membawa perubahan. Ia adalah wajah harapan baru Pegunungan Bintang—pemimpin yang lahir dari rakyat, tumbuh bersama rakyat, dan terus berjuang untuk rakyat.
Penulis: Jeri P. Degei
Editor: Petrus Rabu