Langkah yang Tak Kembali

Ilustrasi: Pria menikmati senja sendirian di tepi pantai. (Image by wirestock on Freepik)
Ilustrasi: Pria menikmati senja sendirian di tepi pantai. (Image by wirestock on Freepik)
banner 120x600

Cerpen

Oleh: Agustinus Guntur*

“Langkah yang Tak Kembali” adalah kisah tentang Dimas, seorang pemuda perantauan di Kota Sorong yang membangun hidupnya dari nol. Di tengah perjuangan kuliah dan bekerja, ia menemukan cinta yang memberinya harapan. Namun, hubungan itu runtuh ketika jarak dan pengkhianatan memisahkan mereka. Cerita ini merekam perjalanan batin seorang lelaki yang belajar bahwa mencintai tak selalu berarti memiliki, dan bahwa melepaskan bisa menjadi bentuk cinta paling tulus—kepada orang lain maupun kepada diri sendiri.

Kota Sorong tak pernah memilih siapa yang datang padanya. Ia hanya menerima dengan tenang—dengan hangatnya mentari dari timur dan desir angin laut yang membawa janji-janji baru. Di antara ribuan langkah kaki yang datang dan pergi, satu langkah pernah menapak dengan harapan besar: langkah seorang pemuda bernama Dimas.

Saat ia tiba di Pelabuhan Sorong delapan tahun silam, langit Sorong menggantung awan mendung. Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah dan jejak kaki yang berhamburan. Dimas berdiri memandangi kota yang masih asing di matanya itu. Tak ada sanak saudara, tak ada tempat bergantung, hanya tekad dan doa dari kampung halamannya yang jauh.

Usianya baru delapan belas tahun saat itu—terlalu muda untuk menyimpan beban, tapi cukup kuat untuk menahan rindu dan kesendirian. Ia datang bukan karena lari dari sesuatu, tapi untuk mengejar mimpi yang tak bisa tumbuh di tempat asalnya.

Ia bekerja di salah satu supermarket di Kota Sorong. Jam kerjanya panjang, tapi tak pernah ada keluhan keluar dari bibirnya. Ia percaya, perjuangan selalu dimulai dari hal yang kecil. Ia menyewa sepetak kamar kos kecil di gang sempit di sekitaran Kompleks Malibela, dan menyisihkan sebagian gajinya untuk bayar kuliah. Ia hidup sederhana, tapi penuh semangat. Baginya, Kota Sorong pelan-pelan menjadi rumah yang ia bangun dari nol.

Hingga suatu hari, di antara lalu lalang pengunjung supermarket, matanya tertuju pada sosok wanita sederhana yang berseragam putih abu-abu—rambut ombak, kacamata bulat menempel di wajahnya, dan penuh rasa ingin tahu.

Gadis itu bernama Julia. Siswi SMA di salah satu sekolah swasta di Kota Sorong, Papua Barat Daya, yang kerap datang membeli camilan dan perlengkapan sekolah. Perkenalan mereka sederhana, tak ada adegan dramatis seperti di film. Hanya sapa sopan, tanya harga, dan senyum yang mulai tumbuh.

Hari berganti minggu. Pertemuan menjadi kebiasaan. Percakapan menjadi cerita. Dan perlahan, keduanya saling menemukan rumah di hati masing-masing. Setahun berlalu, mereka resmi menjadi sepasang kekasih.

Dimas mencintai Julia seperti seseorang yang menemukan cahaya setelah lama hidup dalam kegelapan. Ia bukan lelaki romantis dengan puisi dan bunga, tapi ia lelaki yang tahu cara menjaga, cara menghargai, dan cara mencintai dengan diam-diam namun penuh ketulusan.

Ia menyisihkan gajinya untuk membelikan Julia keperluan sekolah. Ia mengantar jemput jika ada waktu luang. Ia mendengarkan semua cerita Julia tanpa pernah menghakimi. Julia adalah pelipur lelahnya, motivasinya untuk terus bertahan di tengah kesulitan.

Mereka sempat membayangkan masa depan bersama. Menikah, membangun rumah kecil yang sederhana, punya dua anak, dan membuka usaha bersama. Itu mimpi sederhana mereka—mimpi yang membuat setiap hari terasa berarti.

Namun hidup, seperti ombak, tak selalu tenang. Ketika Julia lulus SMA dengan prestasi membanggakan, ia mendapat beasiswa kuliah di luar kota. Dimas mendukung sepenuhnya. Cinta sejati tak mengurung, ia membebaskan. Ia mengantar Julia ke bandara, menyembunyikan perih dalam senyuman. “Kejar mimpimu, aku di sini akan tetap menunggu,” katanya sambil memeluk Julia erat-erat.

Beberapa bulan pertama berjalan baik. Mereka masih rutin berkomunikasi, bertukar kabar, dan mengirim foto. Dimas bahkan memberi kabar bahwa ia akan segera lulus kuliah. Julia tampak senang dan bangga.

Tapi seperti lampu yang perlahan meredup, hubungan mereka pun mulai kehilangan cahaya. Julia makin jarang menghubungi, bahkan meski Dimas menghubungi berulang-ulang kali. Alasannya sibuk kuliah, banyak tugas, atau sinyal buruk. Dimas mencoba mengerti. Tapi hatinya tak bisa dibohongi. Ada yang berubah.

Hingga suatu malam, ia membuka media sosial Julia. Dan di sanalah kenyataan pahit menamparnya tanpa ampun. Ternyata Julia telah bersama pria lain. Foto-foto mereka tertawa bersama, tangan mereka bertaut mesra, caption yang penuh kata-kata manis, bahkan memberi komentar mesra di setiap unggahan.

Dimas terpaku. Ia membaca kalimat itu berulang-ulang. Hatinya berdenyut hebat, seperti dihantam badai dari dalam. Ia mencoba bertanya melalui telepon, mencari jawaban. Julia awalnya menghindar. Tapi ketika Dimas menunjukkan semua bukti, semua potongan luka yang ia kumpulkan, Julia akhirnya bicara.

“Aku sudah kenal dia sebelum kita pacaran. Aku cuma butuh waktu untuk memastikan siapa yang lebih cocok untukku. Dan waktu itu… aku lihat kamu jalan sama perempuan lain di Taman Deo. Aku sakit hati waktu itu. Meskipun aku bilang aku maafkan, nyatanya hatiku sudah berubah.” Begitulah mereka bertengkar lewat telepon malam itu.

Dimas tak percaya. Perempuan itu—yang Julia maksud—adalah rekan sekelasnya, yang kebetulan ia bantu mengantarnya ketika pulang kuliah. Tak ada hubungan apa-apa.

Tapi semuanya sudah terlambat. Bahkan ketika Julia berkata bahwa ia masih menyimpan rasa, bahwa ia mungkin akan kembali suatu hari jika Dimas memaafkan, Dimas tahu hatinya sudah tak bisa sama lagi. Ia merasa ditikam dua kali—oleh pengkhianatan dan oleh alasan yang tak adil.

Tahun-tahun berlalu. Luka tak pernah benar-benar hilang, tapi waktu mengajarkan cara bertahan. Dimas tak lagi bekerja di supermarket. Ia kini menjadi pemandu wisata di Raja Ampat, membawa para pelancong dari berbagai belahan dunia, menyusuri surga bahari yang mempesona. Ia mengenal laut lebih dalam dari siapa pun. Ia berdiri di antara tebing karang dan langit biru di Pulau Piaynemo, menemukan ketenangan yang tak bisa diberikan oleh cinta yang dulu.

Tahun-tahun berjalan, Julia masih mengirim pesan. Tak menyesal, tapi meminta kesempatan. Tapi Dimas sudah memilih untuk tidak menoleh lagi. Ia telah melepaskan masa lalu, bukan karena benci, tapi karena ia mencintai dirinya sendiri lebih dari luka.

Ia sadar, beberapa cinta datang hanya untuk mengajarkan cara sembuh. Dan di Kota Sorong, tempat di mana semuanya bermula, ia belajar: mencintai tak selalu berarti memiliki, dan kadang melepaskan adalah bentuk cinta yang paling tulus kepada diri sendiri.

*Penulis adalah Jurnalis Raja Ampat News-Tinggal di Waisai-Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya

Catatan Penulis:

Cerpen ini terinspirasi dari obrolan panjang tentang kisah nyata seorang adik dari sahabat saya di Kota Sorong. Dalam upaya menjaga privasi dan menghormati perjalanan hidup mereka, nama, tempat, serta beberapa kejadian telah diolah kembali dalam bentuk naratif dan fiksi. Namun, esensi emosional dari cerita ini tetap setia pada realitas yang pernah terjadi.

“Saya menulis cerita ini bukan untuk mengungkit luka lama, melainkan untuk merekam bagaimana seseorang tetap bisa memilih menjadi manusia yang baik meski disakiti, dan bagaimana cinta yang tulus bisa bertahan dalam bentuk kenangan, bukan kepemilikan.”

Cerita ini sepenuhnya bertujuan untuk memberikan inspirasi dan ruang refleksi, tidak dimaksudkan untuk menyinggung atau merugikan pihak mana pun. Segala kesamaan nama, tempat, atau kejadian dalam cerita ini hanyalah samaran dan kebetulan belaka.

Semoga kisah ini bisa menjadi ruang refleksi bagi siapa pun yang pernah mencintai dengan sepenuh hati, pernah dikhianati, namun tetap memilih untuk pulih dan melangkah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page