CERPEN
Oleh: Petrus Rabu*
Maria tahu, keputusan itu harus diambil cepat atau lambat. Namun, malam ini, ia hanya ingin menikmati sisa-sisa senja bersama pria yang membuatnya merasa hidup, meski esok belum tentu milik mereka
Mentari mulai merunduk ke ufuk barat, memancarkan sinar oranye yang membalut Pantai Waisai Torang Cinta dengan kehangatan senja. Deburan ombak kecil bersahutan, memecah keheningan yang menyelimuti Maria.
Ia duduk di atas sebuah breakwater yang dibuat untuk menahan derasnya ombak musim selatan di Pantai itu. Maria membiarkan ujung jeansnya yang berwana biru donker dibasah air laut.
Di depannya, laut seolah tak bertepi hanya ada bayangan beberapa pulau kecil nun jauh disana, mengingatkannya pada kebimbangan yang kini menggeluti hati.
Di tangannya, sebuah kerikil kecil ia putar-putar. Ia bingung, seperti hatinya yang terombang-ambing antara dua pilihan.
“Apa aku harus memilih cinta atau keluarga?” batinnya bergemuruh.
Maria telah menjalin hubungan dengan Riko selama lima tahun. Lelaki itu bukan sekadar kekasih, melainkan sahabat yang selalu ada di saat suka maupun duka. Ia kenal Riko sejak dibangku SMA di kota itu. Sejak itu komunikasi mereka tak pernah putus kendati Maria menyelesaikan pendidikannya di kota.
Namun, satu hal yang menjadi penghalang mereka adalah status Riko. Ia hanyalah seorang nelayan biasa, tanpa gelar atau kekayaan yang menurut keluarganya, tidak cukup untuk mendampingi Maria yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi.
“Kamu itu bisa dapat yang lebih baik, Maria,” ucapan ibunya beberapa malam sebelumnya.
“Tante Ina sudah menjodohkanmu dengan Andreas, anaknya Pak Herman. Dia punya masa depan cerah!” suara ibunya terus tergiang telinganya.
Andreas, pria yang dipilih keluarganya, adalah seorang pegawai pemerintah di kota itu. Sosoknya ramah dan mapan, tetapi Maria tak pernah merasakan debar di hatinya ketika bersama Andreas, tidak seperti saat ia bersama Riko.
Angin sore itu membawa aroma laut yang khas, menyejukkan wajah Maria yang mulai memanas. Langkah-langkah kecil terdengar mendekat, dan ia tahu tanpa harus menoleh siapa yang datang.
“Maria…,” suara itu memanggilnya lembut, suara yang selalu membuat jantungnya berdebar.
Riko berdiri di belakangnya, membawa sekantong kelapa muda.
“Aku tahu kamu pasti di sini,” ujar Riko.
Maria tersenyum tipis, tetapi wajahnya tetap dihiasi awan mendung. Riko duduk di sampingnya, menyerahkan kelapa muda yang telah dipotong.
Maria hanya memandangi kelapa itu tanpa menyentuhnya. “Kenapa, Ma? Kamu nggak suka kelapanya?” tanya Riko dengan nada cemas.
Maria menggeleng lemah. “Riko, aku… aku bingung. Apa yang harus aku lakukan?” Riko terdiam, membiarkan Maria melanjutkan.
“Ibu dan Bapak ingin aku menikah dengan Andreas. Mereka bilang itu untuk masa depanku. Tapi, aku tidak bisa membayangi hidup ini tanpa kamu,” suara Maria bergetar, dan matanya mulai berkaca-kaca.
Riko menatapnya dengan penuh pengertian.
“Maria, aku tahu ini berat buat kamu. Aku cuma nelayan biasa, aku nggak bisa kasih kamu kehidupan mewah. Tapi aku janji, aku akan selalu berusaha buat bahagiain kamu,” ujar Riko.
Maria menatap Riko dengan tatapan yang penuh keraguan. “Tapi, Riko, bagaimana dengan keluargaku? Mereka pasti akan kecewa,” ujar Maria.
Riko menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Riko menunduk lesu. Senja mulai beranjak keperaduannya. Matahari sudah bersembunyi dibalik dedaunan kelapa yang tak hentinya melambai.
Sore itu angin selatan mulai meniup perlahan. Angin itu seakan mengajarkan Riko bahwa begitulah cinta yang iklas, berhembus tanpa pamrih, memberi kesejukan tanpa mengharapkan balasan. Ia ada bukan untuk memiliki, tapi untuk memberikan kehangatan dan ketulusan dalam setiap langkah.
“Aku nggak pernah mau jadi penyebab kamu jauh dari keluargamu. Kalau kamu harus memilih mereka, aku akan mengerti. Aku tidak akan marah,” ujar Riko dengan nada iklas.
“Kamu tahu Maria. Hidup adalah kumpulan pilihan yang membentuk jalan cerita kita. Apapun keputusan yang kita ambil, setiap langkahnya adalah tanggung jawab kita untuk dijalani dengan penuh keberanian. Sebab hanya dengan menerima resiko, kita bisa menemukan arti dari perjuangan dan kebahagiaan,” ujar Riko
Matahari hampir tenggelam sepenuhnya, meninggalkan garis-garis merah muda di langit. Maria terdiam, membiarkan ombak mengisi kekosongan di antara mereka.
“Riko,” Maria akhirnya bersuara, pelan tapi tegas. “Aku butuh waktu. Aku nggak bisa ambil keputusan ini sekarang.”
Riko mengangguk, meski hatinya perih. “Aku akan tunggu, Maria. Sampai kapan pun.”
Mereka duduk bersama dalam keheningan, ditemani nyanyian alam yang melingkupi Pantai Waisai Torang Cinta. Matahari akhirnya tenggelam sepenuhnya, membawa pergi terang yang menyelimuti mereka.
Maria tahu, keputusan itu harus diambil cepat atau lambat. Namun, malam ini, ia hanya ingin menikmati sisa-sisa senja bersama pria yang membuatnya merasa hidup, meski esok belum tentu milik mereka.
*Catatan: Nama-nama yang digunakan dalam cerita ini adalah fiktif dan tidak menggambarkan individu sebenarnya. Segala kesamaan nama atau kejadian hanyalah kebetulan belaka.
*Penulis adalah ASN dan Tinggal di Raja Ampat-Papua Barat Daya