Di Balik Janji yang Terkubur

Ilustrasi (Sunset yang romantis di Kota Sorong,Papua Barat Daya/sumber: Detik Travel. Com
Ilustrasi (Sunset yang romantis di Kota Sorong,Papua Barat Daya/sumber: Detik Travel. Com
banner 120x600

Cerpen ini menggambarkan kisah Sinta, seorang guru SD di Kota Sorong, Papua Barat Daya, yang menapaki perjalanan cinta penuh harapan namun berujung luka. Dalam balutan senja yang hangat dan kehidupan sederhana di kota pelabuhan, Sinta bertemu Hubner — pria berseragam dinas yang memberinya harapan akan masa depan bersama. Namun di balik janji-janji yang ia tanam, tumbuh pengkhianatan, manipulasi, dan kekecewaan. Di tengah kehancuran hati, Sinta bangkit, menuntut keadilan, dan akhirnya menemukan kembali makna cinta yang sejati — yaitu cinta kepada diri sendiri. Cerpen ini menyoroti kekuatan perempuan dalam menjaga martabat dan menghadapi luka dengan keberanian.

Oleh: Agustinus Guntur*

Senja di sebuah sudut Kota Sorong, Papua Barat Daya selalu menyuguhkan keindahan yang tak pernah sama. Langit keemasan memudar pelan, laut memantulkan cahaya terakhir matahari, dan angin membawa aroma asin yang menenangkan. Bagi Sinta, senja adalah momen jeda — waktu ketika ia selesai mengajar, berdiri sejenak di tepi jalan, dan mendengarkan langkahnya sendiri.

Hidupnya sederhana. Ia adalah guru SD negeri di dekat pelabuhan, mengajarkan anak-anak membaca, menulis, dan berhitung. Namun di dalam dirinya, ada ruang kosong yang tak pernah benar-benar terisi — hingga hari itu.

Hari ketika, karena ajakan sahabatnya Rina, ia menghadiri acara resmi pemerintah daerah. Hampir saja ia pulang lebih awal karena lelah, tapi bertahan demi sopan santun. Di tengah pidato yang membuat kantuk, matanya bertemu sepasang mata lain. Seorang pria berseragam dinas, berdiri tegap di dekat panggung, dengan senyum kecil yang membuat jantungnya berdetak aneh.

Namanya Hubner. Saat Rina mengenalkan mereka, suara Sinta nyaris tercekat. Ia tak ingat apa yang dikatakannya pertama kali, hanya ingat suara Hubner yang tenang, dan cara dia benar-benar mendengarkan.

Percakapan awal mereka ringan: soal pekerjaan, kopi lokal yang harum, dan betapa cepatnya senja berubah jadi malam. Tapi bagi Sinta, percakapan itu terasa dalam.

“Mengapa hanya dengan berbicara begini, rasanya seperti aku sudah lama mengenalnya?” batinnya.

Segalanya mengalir cepat setelah itu. Mereka mulai bertukar pesan, bertemu di kafe kecil dekat pelabuhan, dan perlahan kebiasaan Sinta berubah: menunggu pesan Hubner, menanti senyumnya, menahan rindu di sela kesibukan mengajar.

Hubner berbeda. Ia sabar mendengarkan cerita-cerita Sinta tentang murid-murid, tentang mimpinya memiliki rumah kecil dengan taman bunga. Ia pun bercerita tentang tugas dinas, ambisi karier, dan rencana masa depan.

Diam-diam, Sinta mulai berharap. Ia membayangkan hidup bersama Hubner — pagi-pagi membuatkan kopi, sore menantinya pulang kerja, malam menyiapkan makan sederhana.

“Mungkinkah ini dia? Lelaki yang akan menua bersamaku?” tanya Sinta dalam hati.

Hari berganti bulan. Mereka menjadi sepasang kekasih. Teman-temannya menggoda, “Akhirnya ya, Sin!” dan Sinta hanya tertawa, menyembunyikan debar di dadanya.

Dalam setiap kata Hubner, Sinta mendengar janji. Janji bahwa kelak mereka akan membangun rumah bersama. Dan Sinta percaya — sepenuhnya, sejujurnya, seikhlasnya.

Namun seperti awan lembut yang menyimpan badai, cinta mereka tak selamanya manis.

Tahun ketiga, Hubner mulai berubah. Pesan balasannya menjadi singkat, panggilannya makin jarang. Sinta berusaha memahami — mungkin tugas dinasnya semakin padat. Tapi sepi mulai tumbuh di hatinya.

Lalu datang permintaan pinjaman uang. Awalnya untuk perbaikan motor, lalu alasan-alasan lain: keluarga sakit, biaya pindah tugas, kebutuhan mendesak. Sinta memberi — tak hanya karena cinta, tapi karena takut kehilangan.

“Kalau aku menolak, apakah ia akan pergi?” pikirnya.

Desas-desus pun muncul. Teman melihat Hubner bersama wanita lain. Saat ditanya, Hubner justru marah. “Kamu tak percaya padaku? Rasa curiga akan menghancurkan semuanya,” katanya.

Sinta menyesal telah bertanya. Ia menahan curiga, menahan luka. Tapi malam-malamnya semakin panjang, dipenuhi tanya dan tangis yang sunyi.

“Benarkah semua ini? Ataukah aku hanya sedang buta oleh cinta?”

Tahun kelima, Hubner memberi kabar: ia harus pindah tugas ke luar kota demi promosi jabatan. “Ini untuk masa depan kita juga,” katanya, tanpa menatap mata Sinta.

Dengan ragu, Sinta melepasnya. Namun beberapa minggu kemudian, kenyataan pahit terungkap: Hubner masih di kota itu. Bahkan sering terlihat bersama wanita lain, tertawa di kafe yang dulu menjadi tempat mereka.

“Lalu semua janji itu? Rumah kecil, kebun bunga, hidup bersama… hanya dongeng?”

Sinta memberanikan diri menemuinya. Tapi Hubner berubah. “Kita sudah tak cocok,” katanya datar. Lima tahun hubungan berakhir dalam satu kalimat.

Tangis Sinta pecah. Tapi yang paling menyakitkan bukanlah perpisahan, melainkan kenyataan bahwa selama ini ia diperalat. Semua uang, semua waktu, semua harapan — ternyata sia-sia.

Di tengah kehancuran hati, Sinta menuntut Hubner mengembalikan semua uangnya. Bukan karena menghitung cinta dengan angka, tapi untuk menegakkan martabat.

Sebagian orang mencibir: “Cinta kok dihitung?” Tapi Sinta tahu: ini soal harga diri.

“Aku sudah cukup lama mengalah. Kini saatnya aku membela diriku sendiri.”

Hari-hari berlalu. Sinta masih menangis di malam sepi, teringat tawa Hubner, teringat janji-janji yang dulu membuatnya percaya. Tapi pagi tetap datang. Ia tetap pergi mengajar. Anak-anak masih memanggilnya “Bu Guru” dengan mata penuh harap.

Luka itu tidak hilang. Tapi ia mulai sembuh. Sinta menulis, menanam bunga, menata ulang hidupnya. Ia perlahan bangkit — dengan luka, tapi juga dengan keberanian baru.

Hingga suatu senja, di taman kota tempat kenangan lama bersemayam, Sinta duduk sendiri. Ia menarik napas dalam, menutup mata, dan berbisik dalam hati:

“Aku sudah cukup kuat untuk memaafkan.”

Bukan untuk Hubner. Tapi untuk dirinya sendiri. Agar jiwanya bebas dari amarah dan kecewa.

Beberapa bulan kemudian, di acara sekolah, Sinta bertemu seseorang. Bukan pria berseragam dinas, tapi pekerja sosial sederhana yang membantu anak-anak putus sekolah. Ia tak pernah meminta apa-apa. Ia hanya hadir — sebagai teman bicara yang tulus.

Sinta tak langsung jatuh cinta. Tapi ia membuka hati, perlahan. Ia tahu kini: cinta sejati tidak meminta pengorbanan harga diri. Cinta sejati tidak menjebak dalam janji.

Kini, Sinta tetap menjadi guru. Anak-anak masih memanggilnya “Bu Guru” dengan senyum tulus. Di hatinya, bekas luka itu tetap ada — tak hilang, tapi tak lagi menenggelamkannya.

“Aku pernah rapuh, tapi aku juga pernah berdiri lagi,” tulisnya di buku harian, sebelum tidur di malam yang tenang.

Dan di balik janji yang terkubur, ia menemukan cinta paling murni: cinta kepada dirinya sendiri.

TAMAT

Catatan Penulis:

Cerpen ini terinspirasi dari kisah nyata seorang sahabat penulis yang tinggal dan mengabdi sebagai guru di Kota Sorong, Papua Barat Daya. Kisah ini lahir dari obrolan panjang dan percakapan lirih yang penuh luka — tentang cinta yang dimulai dengan harapan, namun perlahan menjadi ruang sunyi yang menyakitkan. Dengan izin dan niat tulus untuk menjaga identitas serta menghormati perasaannya, cerita ini ditulis ulang dalam bentuk fiksi. Semoga kisah ini menjadi pengingat bahwa setiap perempuan berhak mencintai tanpa kehilangan dirinya sendiri, dan setiap luka bisa menjadi jalan menuju kekuatan baru.

*Penulis adalah jurnalis RajaAmpatNews.Com dan tinggal di Waisai-Ibukota Kabupaten Raja Ampat.

Catatan Redaksi:
Cerpen ini adalah karya fiksi yang terinspirasi dari pengalaman nyata yang telah diolah kembali dalam bentuk naratif. Jika terdapat kesamaan nama tokoh, tempat, atau peristiwa dengan kejadian atau individu yang sebenarnya, hal tersebut sepenuhnya bersifat kebetulan dan tidak disengaja. Redaksi menghormati privasi semua pihak dan tidak bermaksud menyinggung atau merugikan siapa pun.

Redaksi juga membuka ruang bagi Anda yang ingin berbagi kisah, opini, atau karya sastra seperti cerpen, puisi, dan esai. Kirimkan naskah Anda melalui email: admin001@rajaampatnews.com dengan subjek: Kirim Tulisan – [Nama Penulis]. Naskah terbaik akan kami tayangkan dengan tetap menjunjung etika dan nilai jurnalistik serta sastra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page