Rona Tungku

banner 120x600

Cerpen

Oleh: Petrus Rabu*

Berto tiba di Raja Ampat dengan membawa ransel tua dan mimpi yang lebih besar daripada tubuhnya sendiri. Dari kampung kecil di Flores, ia berlayar berhari-hari dengan kapal barang, menahan mabuk laut dan dinginnya angin malam.


Semua itu ia tanggung demi satu tujuan: menjemput masa depan bersama Maria, gadis yang sejak lama jadi alasan ia mau bekerja lebih keras, lebih sabar, dan lebih berani menantang hidup.

Di kampung, ia tak punya banyak pilihan. Sawah orangtua tak luas, dan hasil panen selalu habis sebelum musim berikutnya tiba.

“Kalau kau ingin jadi orang, kau harus merantau,” begitu kata pamannya. Maka, ia pilih Raja Ampat, kabupaten yang terdengar asing, tapi terkenal dengan lautnya yang indah.


“Kalau laut itu bisa membuat orang asing datang dari jauh, pasti aku juga bisa dapat rejeki di sana,” pikirnya.

Hari-hari pertama di Waisai penuh perjuangan. Ia menumpang di rumah kontrakan seorang kenalan jauh dari kampung. Pekerjaan apa saja ia ambil: menjadi pembantu tukang, ojek di Pelabuhan Falaya, mengantar tamu ke Kali Biru dan sejumlah tempat lain di Saporkren, bahkan membersihkan halaman hotel kecil. Tapi semua itu hanya sementara. Ia ingin pekerjaan yang lebih layak, sesuatu yang bisa jadi kebanggaan.

Kesempatan datang ketika seorang pemilik perahu wisata mencari anak muda untuk membantu mengurus tamu. Berto melamar, meski tak punya pengalaman.
“Saya bisa belajar cepat,” katanya dengan penuh keyakinan. Pemilik perahu mengangguk, dan sejak hari itu hidup Berto berubah.

Ia mulai ikut mengantar wisatawan menyusuri laut biru Raja Ampat. Awalnya ia hanya memegang tali, mengangkat tabung oksigen, atau membantu tamu naik ke perahu. Tapi ia menyimak dengan saksama cara pemandu lain bekerja, mendengar penjelasan mereka tentang ikan napoleon, hiu karpet, dan karang-karang yang seperti taman.

Bulan demi bulan, tubuhnya terbiasa dengan kerasnya laut. Ia belajar menyelam, jatuh bangun melawan rasa takut, hingga akhirnya bisa ikut memandu wisatawan di bawah air. Setiap kali ia berenang di antara ikan-ikan warna-warni, ia merasa seperti masuk ke dunia baru. Laut menjadi sahabat, sekaligus saksi dari mimpi-mimpinya.

Meski lelah, Berto selalu menyisihkan uang tabungannya. Ia tak pernah menyentuh gajinya untuk hal yang tak perlu. Makan seadanya, pakaian sederhana, dan hiburan hanya sebatas gitar tua yang ia pinjam dari temannya.

Semua ia tahan, sebab di Flores ada Maria yang menunggu. Setiap kali menerima upah, ia menulis surat untuk Maria, meski kadang tak pernah sampai karena pos kampung terlalu jauh. Dalam surat itu ia menulis janji-janji sederhana: akan pulang, akan melamar, akan membangun rumah, dan akan hidup bersama.

Namun, di kampung halaman, hidup berjalan dengan aturan lain. Maria, gadis yang ia cintai, adalah anak sulung dari keluarga yang masih memegang adat kuat. Dan dalam adat itu ada istilah “rona tungku”—sebuah kesepakatan adat tentang siapa yang boleh menikah dengan siapa, tentang kesinambungan keluarga, tentang menjaga kehormatan. Cinta pribadi sering kali tak punya suara ketika berhadapan dengan adat.

Bagi orang Manggarai, rona berarti garis keturunan, sedangkan tungku adalah lambang dapur rumah adat, simbol api kehidupan yang harus tetap menyala. Maka “rona tungku” adalah ikatan tua antar keluarga: sebuah janji perjodohan yang diwariskan turun-temurun, demi menjaga martabat dan kesinambungan garis keturunan. Tidak semua anak muda bisa memilih cintanya sendiri, karena ada api keluarga yang harus dijaga.

Berto tak tahu menahu. Ia sibuk dengan pekerjaannya, dengan laut yang menuntut disiplin dan tenaga. Ia hanya percaya pada janji Maria: “Tunggulah, aku akan tetap menantimu.” Kata-kata itu jadi bahan bakar semangatnya.

Suatu sore, selepas mengantar tamu ke Piaynemo, Berto duduk di buritan perahu, menatap matahari yang perlahan tenggelam. Temannya, Joni, sesama perantau, menepuk bahunya.

“Kau kerja terlalu keras, To. Sesekali pikirkan juga dirimu.”
Berto tersenyum. “Aku kerja bukan untuk diriku, Jon. Aku kerja untuk dia.”

“Dia siapa?”

“Maria, di kampung.”

Joni tertawa kecil. “Ah, cinta perantau. Kadang setia, kadang  hilang dibawa angin.”

Berto menoleh serius. “Tidak, Maria beda.”

Sayangnya, kenyataan tak seindah keyakinan. Beberapa bulan kemudian, kabar dari kampung menghantam Berto seperti badai. Maria telah menikah. Ia dijodohkan dengan lelaki lain—anak dari keluarga yang secara adat memang ditentukan sejak lama. Bukan karena Maria tak cinta Berto, tapi karena ia tak kuasa melawan keputusan orangtua dan adat yang menjaganya. “Rona tungku,” begitu alasannya.

Kabar itu Berto terima lewat telepon dari sepupunya. Ia mendengar suara keramaian pesta di belakang sana: bunyi gong, tawa orang, dan musik pesta kawin.

“Maafkan, To. Kau tahu sendiri, dia tak bisa melawan,” kata sepupunya pelan.

Malam itu, Berto pulang ke kamar kontrakannya di seputaran Kimindores dengan dada terasa berat. Ia duduk diam di lantai, menatap kotak besi tempat ia menyimpan tabungan. Seharusnya uang itu untuk membeli cincin, untuk pesta kecil, untuk menebus cinta yang ia perjuangkan. Kini semua itu tak berarti.

Ia menyalakan rokok, menghisap dalam-dalam, lalu menatap langit-langit kamar. Matanya panas, tapi air mata enggan jatuh. Mungkin karena ia terlalu letih, atau mungkin karena hatinya sudah kering.

Keesokan harinya, ia tetap pergi bekerja. Mengantar tamu menyelam, tersenyum ramah, bercerita tentang ikan pari manta dan hiu berjalan yang hanya ada di Raja Ampat. Di dalam laut, ia merasa bebas, seakan semua luka bisa larut bersama arus. Namun begitu ia naik ke permukaan, kenyataan kembali menekan dadanya.

Hari-hari berlalu, dan Berto mulai belajar menerima. Maria telah memilih—atau tepatnya dipilihkan—jalan hidupnya. Ia tak bisa melawan adat, dan ia tak mau menyalahkan siapa-siapa. Hidup memang sering begitu: cinta kalah oleh tradisi, hati kalah oleh keputusan orangtua.

Meski begitu, Berto tak menyerah pada hidup. “Kalau bukan Maria, mungkin akan ada yang lain,” katanya suatu malam sambil menatap rembulan di Pantai Waisai Torang Cinta. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu, luka itu akan tinggal lama.

Kini, laut bukan lagi sekadar tempat ia mencari uang. Laut menjadi rumah kedua, tempat ia menemukan ketenangan, tempat ia menyembunyikan luka. Di bawah permukaan, di antara karang dan ikan-ikan, ia merasa diterima tanpa syarat.
Laut tak pernah menanyakan “rona tungku”, tak pernah peduli siapa keluarganya, tak pernah menolak cintanya. Laut hanya memeluknya dengan arus yang kadang tenang, kadang ganas, sama seperti hidup itu sendiri.

Berto tetap bertahan di Raja Ampat. Ia terus bekerja sebagai pemadu wisata, mengantar tamu dari berbagai belahan dunia. Senyumnya tetap hangat, meski hatinya pernah dihempas. Dan setiap kali ia menatap matahari tenggelam di cakrawala, ia selalu ingat bahwa di balik setiap senja ada cerita yang tak kembali.

Namun ia juga sadar, hidup harus terus berjalan. Cinta mungkin kalah, tapi dirinya tak boleh kalah. Dan dengan itu, ia melangkah maju, membiarkan laut dan waktu mengobati luka yang ditinggalkan oleh sesuatu yang bernama “rona tungku.”

Catatan Redaksi:

Cerita pendek ini adalah karya fiksi. Apabila terdapat kesamaan nama tokoh, tempat, maupun peristiwa dengan kejadian nyata, hal tersebut semata-mata kebetulan dan tidak disengaja.

*Penulis adalah ASN dan Editor di RajaAmpatNews.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page