Waisai, Raja Ampat News – Pulau Wayag, ikon Raja Ampat yang kerap muncul di brosur wisata dunia, kini kembali menjadi sorotan. Namun, perhatian terhadap keindahannya baru mencuat setelah ancaman tambang mulai membayangi wilayah adat masyarakat Suku Kawe.
Di tengah kekhawatiran publik, muncul pertanyaan mendasar: Ke mana kita selama ini? Selama bertahun-tahun, wisatawan—terutama dari kalangan lokal—lebih memilih destinasi seperti Piyanemo, Arborek, Pasir Timbul, dan Kali Biru. Wayag dianggap terlalu jauh dan sulit dijangkau.
Menurut Yusak Lapon Ayello, pemuda dari Suku Kawe, alasan utama yang sering terdengar bukan dari wisatawan asing, melainkan dari masyarakat Papua sendiri.
“Ironisnya, banyak orang asli Papua lebih tertarik berlibur ke Jawa, Bali, atau bahkan ke luar negeri daripada menikmati tanah sendiri,” ujarnya.
Selain akses, soal biaya juga menjadi sorotan. Distribusi adat sebesar Rp1.000.000 per speedboat kerap dikeluhkan sebagai beban tambahan. Padahal, biaya tersebut menjadi salah satu cara masyarakat adat mempertahankan dan menjaga kelestarian Wayag secara mandiri.
“Menjaga Wayag itu tidak gratis. Ini bukan hanya soal pemandangan, tapi soal warisan. Wayag adalah rumah, pusaka, dan simbol kebanggaan kami,” tegas Yusak.
Kondisi mulai berubah ketika kabar rencana tambang muncul di wilayah Kawe. Suara-suara penolakan bermunculan, media sosial dipenuhi kampanye penyelamatan lingkungan, dan diskusi publik digelar di berbagai tempat.

Namun, bagi masyarakat adat, pertanyaannya sederhana: Mengapa baru sekarang semua peduli? “Dulu kalian bilang terlalu mahal, terlalu jauh. Tapi ketika tambang mengancam, baru Wayag terasa penting? Seandainya perhatian ini datang lebih awal, mungkin kita tidak akan sampai pada titik ini,” kata Yusak.
Kepedulian terhadap Wayag dan seluruh alam Raja Ampat bukan hanya tugas pemerintah atau LSM. Seruan juga ditujukan langsung kepada generasi muda Papua.
“Sekolah yang sungguh-sungguh. Ambillah jurusan yang bisa bantu kita jaga tanah ini—entah itu geologi, kehutanan, kelautan, atau konservasi. Kita butuh orang-orang yang paham dari dalam,” pesan Yusak.
Wayag bukan sekadar objek wisata. Wayag adalah identitas. Ia adalah martabat masyarakat adat Kawe yang telah menjaganya turun-temurun. Kini, tugas generasi selanjutnya adalah mempertahankan warisan itu—bukan hanya dari ancaman tambang, tetapi juga dari sikap acuh dan lupa diri. “Kalau bukan kita, siapa lagi?” ujarnya.