Sampah Musuh Bebuyutan, Pengelolan TPS dan TPA Yang Buruk Semakin Memantapkan Predikat Kota Waisai Sebagai Kota Kecil Terkotor Di Indonesia

Sumber Foto: Narasumber ( Joris Stef Omkarsba)
Sumber Foto: Narasumber ( Joris Stef Omkarsba)
banner 120x600

Laporan investigasi dan Advocasy Lingkungan hidup

Oleh : Joris Stef Omkarsba*

Sabtu, 26 April 2025 pukul 18.00 WIT, saya hendak ke Perum 200 melintasi jalan dari Bundaharan Lantas Waisai menuju Kantor Bupati Raja Ampat. Ketika berada di atas Jembatan Kembar, tiba-tiba bau busuk menyeruak menusuk hidung saya. Sepintas saya menutup hidung dan berlalu, tidak menghiraukan bau tak sedap itu karena hari sudah mulai gelap, tidak ada yang bisa dilihat.

Senin, 28 April 2025, pukul 08.00 WIT, saya dikirim foto-foto dari seorang koresponden tentang sampah yang menumpuk dan berbau di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) di bawah Jembatan Kembar dengan keterangan bahwa masalah ini sudah viral di grup Opini Pileg Raja Ampat. Pukul 10.00 WIT, ketika meninjau lokasi tersebut, mobil Kadis Lingkungan Hidup sudah terparkir di sana dan sebagian sampah sudah dimuat, sementara sisa sampah masih dikerjakan dengan satu unit truk pengangkut sampah.

Setelah mengamati fenomena sampah di bawah TPS Jembatan Kembar, baru saya sadar bahwa bau busuk yang saya cium pada Sabtu, 26 April 2025 tersebut adalah sampah yang tertumpuk karena tidak diangkut. Mungkin juga karena hari libur, petugas tidak bekerja, bahkan Dinas LH pun libur hingga sampah tidak dikontrol.

Walaupun sampah dan bau busuk yang menyebar sudah teratasi, namun kemudian memunculkan banyak pertanyaan di benak saya. Apakah sampah dan bau busuk itu teratasi maka semua masalah sampah di Kota Waisai telah tuntas? Jawabannya tidak. Karena sampah tertimbun dan bau busuk yang menyeruak di TPS Jembatan Kembar merupakan akumulasi masalah sampah di Kota Waisai yang selama 20 tahun tidak mendapatkan perhatian penuh dari Pemerintah Kabupaten Raja Ampat.

TPA, TPS, Jumlah Penduduk, dan Predikat Kota Terkotor

Masalah sampah tertumpuk di Kota Waisai merupakan akumulasi dari tidak ditanganinya sistem pengelolaan sampah yang profesional secara masal dalam kurun waktu 20 tahun. Bayangkan saja, jika tidak ada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang representatif, akan mengakibatkan apa yang akan terjadi pada sampah tertumpuk di TPS? Apalagi jika ditelusuri lebih jauh, TPS di Kota Waisai hanya satu untuk menampung sampah rumah tangga dari penduduk kota sebesar 21.570 orang (data BPJS Kabupaten Raja Ampat tahun 2024), sementara tidak ada TPA Waisai. Lokasinya kini telah tertutup hutan, bahkan rumah penduduk mulai tumbuh subur di sekitarnya—mereka hidup bersama sampah.

Ada sebuah eksperimen yang dilakukan oleh pemerhati masalah sampah di Waisai terhadap tidak adanya TPA dan dampak yang ditimbulkan akibat sampah yang berserakan di sekitar lokasi TPA, dengan membuka makanan bungkus pada jarak 1 kilometer. Yang terjadi sangat mencengangkan—tidak butuh waktu lama, lalat-lalat biru akan berkerumun dalam jumlah banyak. Hal ini memberikan gambaran bahwa masalah sampah dan TPA merupakan masalah serius di Kota Waisai dan Kabupaten Raja Ampat secara keseluruhan.

Kondisi TPS, TPA, dan sampah yang tertumpuk dan bau bukan saja menjadi masalah sosial semata, tetapi hal ini semakin memperkuat posisi predikat Kota Waisai sebagai kota terkotor di Indonesia. Bagaimana hubungannya dengan pariwisata? Waisai tidak mencerminkan kotanya sebagai ibu kota Kabupaten Raja Ampat dan pusat daerah tujuan wisata internasional.

Waisai Bangkit dan Produktif pada Bidang Sampah, Tantangan bagi ORMAS pada Sektor Pariwisata

Masalah sampah dan predikat Waisai sebagai kota terkotor di Indonesia tentu memberi dampak signifikan terhadap pertumbuhan pariwisata Raja Ampat karena Waisai sebagai pusat administrasi dan kota persinggahan wisatawan yang ingin berkunjung ke Waisai dan objek wisata di Raja Ampat lainnya.

Sebut saja ketika wisatawan berkunjung ke Kalibiru yang fenomenal, melewati TPS Jembatan Kembar dan TPA Warnap. Kesan pertama yang akan melekat di benak mereka adalah sampah dan bau busuk. Realita ini telah memberi pesan negatif terhadap kepariwisataan Kabupaten Raja Ampat. Hal ini tentu beralasan karena pariwisata identik dengan kebersihan, sebagaimana telah dinyatakan pada Gerakan Sadar Wisata Indonesia Sapta Pesona pada urutan kedua setelah keamanan.

Pilkada 2024 telah melahirkan pemimpin baru yang dikehendaki rakyat untuk membawa perubahan dan perbaikan karena memiliki visi-misi yang mewakili keinginan dan kebutuhan rakyat. ORMAS hadir dengan mimpi “Bangkit, Produktif Menuju Masyarakat Raja Ampat Sejahtera”, dengan tujuh misi yang mendukung keberhasilan mimpinya.

Jika melihat fenomena sampah dan permasalahannya serta dikorelasikan dengan sampah Kota Waisai dan pariwisata Raja Ampat, apakah yang harus diperbuat ORMAS agar mimpi “Bangkit dan Produktif” dapat terwujud? Bagaimana ORMAS berpikir bahwa Waisai harus bangkit dari persampahan dan produktif menciptakan TPS, TPA, dan manajemen sampah yang baik dan terukur agar kota ini keluar dari permasalahan sampah dan terhindar dari predikat kota terkotor?

Masalah sampah kini menjadi tantangan besar bagi pemerintahan ORMAS untuk mengatasinya melalui perangkat teknis yang dimilikinya, seperti Dinas LH, Pariwisata, PU, Bappeda, dan instansi teknis terkait lainnya. ORMAS bangkit dan produktif dalam bidang persampahan menuju masyarakat Kota Waisai sejahtera.

*Penulis adalah ketua komunitas pecinta kota Waisai dan pemerhati masalah pariwisata Raja Ampat.

Catatan Redaksi:

Raja Ampat News membuka ruang bagi publik untuk berkontribusi melalui tulisan opini, esai, atau artikel lepas yang relevan dengan isu-isu lokal maupun nasional. Redaksi menerima naskah sepanjang tidak mengandung unsur pencemaran nama baik, fitnah, provokasi SARA, hoaks, atau ujaran kebencian. Redaksi berhak menyunting naskah tanpa mengubah substansi.

Kirim tulisan Anda ke: rajaampatnews123@gmail.com atau No Wa: 0823 5259 1664

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page